Hakikat Hidup Yang Terabaikan [1]


Hakikat kehidupan atau intisari kehidupan setiap orang adalah sama, walaupun dilalui dengan cara yang berbeda-beda dan memiliki akhir kehidupan yang berbeda-beda pula. Bisa jadi orang-orang disekitar anda, menjalani kehidupannya dengan cara yang mulus. Sedangkan anda, mungkin saja selalu menemui hambatan. Pelajaran mengenai kehidupan tidak akan pernah anda temui di kurikulum sekolah manapun, sekalipun di sekolah bertaraf internasional. Seorang teman mengatakan kepada saya bahwa, jalanan adalah guru yang sebenarnya karena kekejaman dan kebaikan kehidupan itu sendiri akan berbaur untuk menggoyahkan prinsip hidup.

Kali ini, pengetahuan saya bertambah melalui perbincangan dengan 4 orang teman tentang proses kehidupan yang hakiki. Saya bertemu dengan mereka sekitar dua hari yang lalu dalam acara buka puasa bersama di Saung Kuring, Bogor. Seharusnya, acara tersebut dihadiri oleh delapan orang, tapi karena mereka tidak bisa datang, jadi ya sudahlah! Berlima pun masih tetap menyenangkan. Ketika waktunya pulang, ternyata, salah satu teman kami masih ingin melepas kangen. Oleh karena itu, kami sepakat untuk melanjutkan pertemuan kami di warung bandrek susu, pinggiran Air Mancur.

Maklum saja, kami semua masih anak kuliahan tingkat “suhu”, jadi obrolan dibuka dengan tema mencari judul skripsi. Saya sebut mahasiswa tingkat “suhu” karena kami masih memperdalam ilmu hingga melebih 8 semester. Obrolan terus berlanjut dari skripsi ke poker, kemudian desain minisite, hingga hakikat atau intisari kehidupan.

Namun, tidak semua dari kami memberikan opini. Satu teman kami menjadi pendengar setia. Bisa jadi, anda akan berpikir ia adalah orang yang pendiam. Mungkin juga, akan terbesit di hati anda, ia tidak memiliki minat terhadap topik obrolannya. Atas dasar tersebut, saya mencoba berkomunikasi dari mata ke mata, dan qalbu dengan qalbu. Saat saya tanya, “kenapa dari tadi kamu gak ngomong apa-apa?”, dia hanya tersenyum mesra, dan menjawab, “kalau semuanya ngomong, terus siapa yang ngedengerin?”. Kemudian saya bilang lagi, “kan kamu bisa ngomong sekaligus ngedengerin.” Dan lagi-lagi dia melempar senyumnya kepada saya, kali ini sambil mengedipkan mata. Katanya, “lebih baik saya diam, daripada mengucapkan hal yang sia-sia untuk didengarkan, baik oleh orang lain, maupun diri saya sendiri.”

Saya memiliki waktu untuk berpikir semalaman. Benar juga omongannya. Menurut saya, diam untuk mendengarkan orang lain, lebih sulit daripada ikut berbicara. Karena saat diam, artinya kesabaran diuji untuk menahan hawa nafsu untuk berbicara. Walaupun tidak jarang saya mengucapkan hal-hal yang tidak bermanfaat hanya untuk mengisi kekosongan, saya bisa memahami bahwa, tidak semua orang menganggap berbicara adalah hal yang menyenangkan. Orang-orang demikian lebih menyukai ketenangan. Biasanya, mereka mengisi ketenangan tersebut dengan berdoa, menikmati suasana, atau meresapi ilmu yang baru saja diperoleh. Menurut saya, sebaiknya ketika berbicara harus didahului dengan niat yang tulus dan tidak bermaksud menyakiti lawan bicara atau pendengar anda.

Sejatinya, seorang presenter atau host akan lebih baik dan lebih bijaksana, jika ia mengucapkan hal-hal yang bermanfaat dan tidak menyakiti perasaan orang lain. Memang lucu, saat mendengar lelucon satire. Namun, sesuatu yang berlebihan akan menimbulkan dampak negatif. Apalagi, jika lelucon tersebut tidak diselipi dengan esensi dan nilai edukasi.

Zaman sekarang ini, lelucon yang menghina fisik sudah menjamur dan menjadi sesuatu yang lumrah. Anda mungkin saja bisa tertawa terpingkal-pingkal sampai terguling-guling di lantai, ketika menjadikan kekurangan fisik seseorang sebagai bahan tertawaan. Sedangkan, objek penderitanya, belum tentu merasakan hal yang sama. Saya yakin, anda tidak akan pernah memahami rasanya, sebelum mencoba sendiri.

Jika anda seorang komedian terpaksa menjadikan orang lain sebagai bahan lelucon, sebaiknya tidak dilakukan berulang-ulang. Terkadang, ada saja orang yang terus menerus menambah dosis leluconnya karena merasa bahwa, si objek penderita terlihat bisa menoleransi bahkan ikut tertawa. Padahal, ketika dosis terus ditambah, maka lelucon tersebut akan semakin kasar, tidak mendidik, melukai perasaan, dan tidak bermanfaat. Maka, kontrollah hawa nafsu anda dengan cara diam.

Hakikat hidup selanjutnya, saya lanjutin besok yaa…

P.S. terima kasih Ali Permana, Alfin Andri, Endin Saripudin, dan Junaedi Effendi atas inspirasi dan ilmu kehidupannya.

20 tanggapan untuk “Hakikat Hidup Yang Terabaikan [1]

  1. kadang emang harus lebih banyak mendengarkan daripada bicara. ngelawak juga harus cerdas ya. kayak komeng tuh cerdas lawakannya. đŸ˜€ gak mesti fisik melulu.

    Suka

        1. baiklah, jika memang demikianlah yang kisanak kehendaki.
          terimalah pemberian saya berupa ransel merah muda. berjalanlah lurus tanpa menoleh ke belakang.
          bukalah surat ini setelah seratus langkah jauh dari sini. ikutilah petunjuknya. jika tidak mengerti jua, bacalah lagi beruang-ulang samai kisanak mendapat pengetahuan dan sang maha kuasa, sang hyang widi… *uhuk uhuk ehem*

          Suka

Tinggalkan Balasan ke febrian hadi Batalkan balasan