Tidak Semua Guru Layak Menjadi Guru


Belakangan ini, saya mulai sering berpikir seperti ini: Ternyata, tidak semua orang yang berprofesi sebagai guru layak menjadi panutan. Mungkin seseorang itu memang berilmu di bidangnya, makanya dia mengajar. Namun, selebihnya, tidak pantas disebut sebagai Guru.

Menurut saya, seorang guru harus memiliki kapasitas yang mumpuni, baik dari attitude, kebijaksanaan, hingga skill yang berkaitan dengan bidang yang diajar. Menjadi seorang guru tidaklah harus sempurna, tapi alangkah baiknya, seorang guru harus senantiasa berusaha menjadi baik dan lebih baik, melebihi anak-anak didiknya.

Almarhum guru spiritual saya adalah seseorang yang saya kagumi. Dulu saya kira, tidak ada yang bisa menggantikan beliau. Tenyata saya salah. Ternyata, beliau adalah sosok guru yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh siapapun.

Saya mengenal seseorang yang mengajari saya beladiri selama beberapa tahun belakangan ini. Awalnya, saya pikir, beliau memiliki karakteristik yang sama dengan Almarhum Guru Spiritual saya, namun lambat laun, saya mengerti bahwa beliau memiliki terlalu banyak kelemahan. Hal yang paling unggul dari beliau adalah, beliau memang pandai beladiri. Selebihnya, tidak ada hal yang bermanfaat untuk ditiru, dipanuti, atau dipelajari.

Dengan daya pikirnya yang lemah, dia ingin mengajak orang-orang di sekitarnya bedebat. Saya kerap kali berpikir, apakah dia menyadari bahwa kebanyakan orang sebenarnya malas berdebat dengan dia karena tidak ingin membuang waktu? Saya pikir, sekalipun dia tahu, dia akan mengabaikan itu, karena memang daya pikirnya lemah. Namun, dia menganggap dirinya lebih hebat dari siapapun.

Dia berpendapat bahwa setiap orang harus memiliki kebebasan berpikir. Namun, berdasarkan yang saya lihat, kemungkinan besar setiap orang memang memiliki kebebasan berpikir, namun jika dan hanya jika apa yang dipikirkan oleh orang-orang tersebut sejalan dengan pemikirannya.

Beberapa pekan lalu, dia mengajak saya berdebat tentang orang-orang di Pulai Sentinel yang tidak memakai baju. Dia bilang, orang sentinel hanya pakai penutup alat vital yang terbuat dari dedaunan. Dia mengatakan hanyalah palu, cangkul, dan alat bertani sebagai teknologi.

Apakah dia memahami definisi baju, perkakas, dan teknologi? Meskipun saya berusaha menggiring opininya, bahkan saya menyampaikan definisi general berdasarkan KBBI, Oxford, dan sumber lainnya, dia malah berkata: Ini definisi saya sendiri.

Bukankah ketika ingin mengajak seseorang berdebat, maka keduanya harus menyepakati suatu point of view mendasar dan umum terlebih dahulu?

Saya pikir, kemungkinan besar, ada kecenderungan bahwa dia hanya ingin berkoar-koar dengan pendapatnya yang tidak valid. Itulah sebabnya, dia tidak konsisten.

Selain itu, kemampuannya memproses masalah dan mengatasi masalah pun lemah. Saya memiliki permasalah dengan pembully-an di doujo yang dia kelola. Seseorang mem-bully saya, namun dia mengecilkan hal tersebut. Dan terus menerus menyuruh saya untuk berinteraksi dengan pelaku perisakan. Seakan-akan hal yang saya alami adalah hal sepele dan sayalah yang berlebihan.

Padahal, pelaku perisakan tersebut telah merusak barang-barang saya. Tapi guru beladiri saya tersebut malah terkesan membela si perundung, dengan dalih, si perundung adalah orang bodoh yang sewajarnya dimaklumi oleh saya. Apakah harus seperti itu? Apakah dia tidak bisa berpikir mana yang benar dan mana yang salah?

Beliau memang pandai mengajari ilmu beladiri karena memang mengusai bidangnya. Namun, beliau bukanlah seorang guru. Hanya seorang pengajar profesional.

Selamat Jalan Oom, Sampai Jumpa Lagi, InsyaAllah


Masa terus berganti. Zaman pun terlewati.

Sepandai apa pun manusia menipu, titah Sang Penguasa waktu tetaplah mutlak. Sedangkan, hamba-hamba-Nya menjadi tawanan delusi yang menyilapkan hati.

Allahumaghfirlahu warhamhu, masih belum lagi dia meninggalkan bayang-bayang wanita di samping almari yang dulu kerap duduk mendongak ke luar cendela. Memandangi langit yang tersembul dari balik tembok abu-abu. Menghitung jarak sejangkauan mata. Pula menghitung memori bersama jemari.

Sesekali dia menengadahkan kedua tangan. Komat-kamit merapal mantra pengasihan. Gejolak qalbunya bercumbu mesra dengan genangan pada dua bola mata.

Wahai Tuan, Wahai Tuan, Kau mengenalku seutuhnya. Kau satu-satunya penolongku malam ini. Aku tak berani mengeluh pada-Mu. Tapi, jika bukan Engkau, Wahai Tuanku. Lantas harus kukisakan kemana lagi?

Bukan sekali ini dia merintih. Walau ingatannya akan terus menguap, namun takdir tidak pernah lelah membawa khabar kepulangan sahabat ke rumah Tuan mereka.

Hatinya marah? Tidak! Dia memang masygul setiap kali temannya menjadi raja dalam arak-arakan. Tapi pipinya kering. Boleh kau terka dia tegar laksana karang yang menantang. Padahal, sebab itulah jua, wanita di samping almari itu mulai sering termangu dan terdiam.

Doanya tak pernah putus agar jantung hatinya hanya meletup dalam keheningan penghujung malam. Walau saat siang tawanya lepas tak terarah. Kadang pula tangisnya membawa air bah. Namun, kerinduan berjalan bersama para pendahulu masih rapi tersimpan.

Kini wanita di sudut almari itu mulai sering hening tidak karuan. Dia mencari hiburan dengan tidak berbincang. Baginya, harapan hanya tinggal khayalan. Karena dia bukanlah ratu impian yang ditandu menuju keabadian.

Sudahlah. Bukankah hanya belum giliran? Semoga ada hidangan lezat teristimewa untuknya kala sekembalinya pulang.

 


Rabu, 14 Agustus 2019.

Selamat jalan, Oom Coek… Salam dari ananda Mew, keponakannya Oom di Bogor… Innalillahi wa innailahi roji’un…

Si Buta Yang Bisu


Dikisahkan seorang buta mendatangi Baginda Rasulullah, “Ya Rasulullah, tolong sembuhkan mataku.” Beliau menatap orang ini sejenak, tersenyum, lalu memberi tawaran, “mana yang kau pilih, aku tangguhkan keinginanmu hingga di akhirat nanti, atau engkau aku mintakan kesembuhan sekarang?”

Kini akulah Si Buta itu. Tidak hanya itu, aku pun mendadak bisu. Hanya bisa menyampaikan khabar lewat tulisan, sembari berharap pesanku tersampaikan. Jika ada yang ingin aku ketahui, maka akan kugunakan mata orang lain. Selagi ada yang mau membantu.

Jika Si Buta tersebut memilih kesembuhan karena yakin sanggup menepati ikrarnya dihadapan Baginda Rasulullah dan Robb-nya, bahwa dia hanya akan melihat yang baik-baik saja dan yang diridhoi oleh-Nya. Bagaimana denganku?

Mampukah aku menjaga pandangan dan lisan ini ketika Allah sembuhkan diriku?

Kini akulah Si Buta yang bisu. Ingin bicara tapi tak terdengar. Ingin sekedar melihat tapi tak mampu. Benarkah begini lebih baik? Sekalipun aku ingin Dia sembuhkan penyakitku.

Ya Robb, tolong sembuhkan aku, kemudian masukkan aku dalam penjagaan-Mu.

 

 


Selasa pagi di tengah kota. Duduk di antara lalu-lalang pencari rezeki. Bermuhasabah. Memikirkan seseorang yang mungkin saja mengingatku atau sudah melupakanku. Semoga hanya ada ingatan menyenangkan yang tersisa tentangku, walaupun dia pergi sembari memikul kenangan menyedihkan di saat aku masih berusaha menjadi orang baik.

Si Pandir Bicara Cinta


Aku tak tahu apa itu cinta.

Kata para tetua juga anak-anak muda: Esensi hidup manusia tidak akan utuh jika tidak punya cinta. Bagaimana bisa ada manusia yang tidak tahu cinta, sedangkan dia diciptakan atas dasar cinta? Aku tak menampiknya, pun tak berselera untuk memperdebatkan ini.

Karena aku memang tidak mengerti perkara cinta, maka semua ornamen, siklus, dan kisah hidup kuterjemahkan saja sebagai bahasa cinta.

Misalnya, tentang pengorbanan seorang ibu bangun subuh-subuh untuk menyiapkan makanan bagi suaminya, putra-putrinya, menantunya, hingga rela bersabar dimarahi oleh anaknya sendiri tatkala ia lalai menyuapi cucu-cucunya di suatu pagi.

Atau, tentang bagaimana belatung memakan daging atau buah-buahan demi berlangsungnya pembusukan. Padahal, hewan kecil dan lembut itu tahu, mereka akan lenyap dalam beberapa hari saja.

Ah~ Aku kini sedang jatuh cinta. Setidaknya, biarkan aku berpikir demikian, sebab sesekali aku juga ingin dilihat sebagai manusia sejati. Bukankah hukum yang berlaku di dunia manusia adalah demikian?

“Esensi hidup manusia tidak akan lengkap, tidak akan utuh, jika tidak memiliki cinta.”

Bagaimana tanda-tanda cinta itu hadir mengisi relung hati dan jiwa?

Katanya, adalah ketika kita begitu bersemangat setiap kali menerima kabar dari orang yang dicintai. Kadang senyam-senyum sendiri sewaktu membayangkan polah orang yang cintainya. Jantung berdegub kencang kalau berdekatan dengannya. Bahkan, kekurangannya pun menjadi sesuatu yang positif di mata kita.

Benar kah? Kalau diingat-dingat lagi, sepertinya aku pernah merasakan hal semacam itu beberapa kali dengan orang yang berbeda-beda. Walaupun begitu, aku yang bodoh ini tidak mau larut ke dalam perasaan yang tidak bisa kumengerti. Setiap kali rasa itu ada, aku berusaha menepisnya.

Kupikir, kenapa aku harus jatuh cinta kepada seseorang yang aku tak tahu isi hatinya yang sebenarnya? Masa sih aku jatuh cinta? Jangan-jangan aku hanya ingin berpikir bahwa aku jatuh cinta? Jika benar ini yang disebut cinta, lantas kenapa aku tidak merasakan hal yang sama kepada Rabbku, padahal aku mengaku cinta?

Mungkin aku sebenarnya mengerti apa itu cinta, hanya saja aku tak mau menerima. Aku tak mau tahu. Aku tidak mau memahaminya. Dengan sendirinya, aku tidak ikhlas jika harus mencintai seseorang dikala aku sendiri tidak bisa merasakan hal yang sama kepada Dia, Zat yang menggenggam takdirku.

Tapi Tuhanku memang Maha baik. Ia hadirkan sosok yang bisa membuatku memikirkan cinta. Bukan untuk terlena di dalamnya, melainkan hanya sekedar memberiku contoh bahwa seharusnya seperti inilah hatiku ketika aku mengaku cinta pada-Nya. Seharusnya, beginilah sikapku ketika menyambut panggilannya. Mestinya ini yang aku lakukan ketika mendengar firman-firman-Nya.

Aku memang si Pandir yang ikut-ikutan bicara soal cinta.

Aku memang tak tahu apa itu cinta. Itulah mengapa, setiap kali aku lupa bagaimana wujud cinta, Ia akan ingatkan aku kembali melalui pertemuan dengan seorang hamba. Kemudian, ia ambil kembali dari sisiku, agar aku sadar bagaimana seharusnya perasaan yang kumiliki ketika berpisah dengan sosok yang kuaku cinta.

Kebersamaan antar sesama manusia ternyata bukan untuk dinikmati, melainkan sebagai contoh nyata tentang bagaimana seharusnya diriku tatkala mengaku cinta pada Rabbku.


Selasa, 28 Mei 2019, pukul 22.45 WIB. Lesehan di samping gerbang besi. Merenungi kisah-kisah manusia.

Ruang Hitam


“Bolehkah aku tetap di sini?”

Di ruang gelap dan sunyi. Dimana aku bisa sembunyi. Menjaga diriku sendiri. Tanpa terikat dengan siapa-siapa. Lebih membuatku bahagia. Jika kau ingin tahu.

Pintu ini tetap kupasang. Hanya untuk sekedar tahu, siapa yang berani mengetuknya. Mungkin tidak akan kubuka. Juga ku tak balas menyapa. Berpura-pura seakan sedang tiada. Lebih membuatku bahagia. Walau ternyata, aku tak tega. Sebab rasa-rasanya, diriku masih manusia. Yang punya rasa dan karsa.

Pernah sesekali ku berimajinasi. Kedatangan seorang teman. Dia memasuki ruangan. Duduk bersila di hadapan. Membawa lilin yang apinya kupadamkan. Sudah ku bilang, aku tak suka cahaya! Rasanya benci sampai ke hati.

Di ruang gelap gulita. Mungkin kami saling bercerita. Bercanda. Lalu memahami dan menerima sesama. Ah, tapi itu kan hanya angan-angan belaka. Doa yang entah kapan akan bermuara. Yang kisahnya enggan kuterka.

Pintu itu tetap kupasang. Walau tidak akan pernah kubuka. Setidaknya, itu mau ku kan? Tapi, akan lain cerita jika Sang Maha Kuasa menghentikanku bertindak suka-suka. Di bumi-Nya.

“Hey, kawan! Boleh kan aku di sini saja? Keluar lah! Aku ingin sendiri.”

Merenungi alas hampa. Yang digelar atas izin Sang Maha Pencipta. Bercumbu mesra dengan bara. Berkemul awan warna-warni. Yang tampak hitam di ruang gelap gulita. Tanpa sinar juga cahaya.

Tapi, pintu itu akan tetap ada. Hanya untuk sekedar tahu, siapa yang berani membuka. Melangkah masuk. Untuk mengeluarkanku dengan paksa. Ketika aku telah tiada.

Atau. Sekedar menyaksikan seonggok bekas manusia. Tergeletak tak berdaya. Usai sakaratul mautnya.

Kau boleh tertawa. Atau diam sambil berdoa. Supaya aku tak menghantui malam dan mimpi-mimpimu. Terserah saja lah!

“Tapi, boleh ya aku tetap di sini?”

Begini membuatku jauh lebih bahagia dari yang kau kira.

 


Jam setengah dua siang. Duduk di sudut. Berlindung dari sengatan Sang mentari. Sambil menyadari bahwa angan-angan yang kubangun, dihempas begitu saja. Aah~ Harus kuakui. Lagi-lagi… Bertemu manusia yang doyan berpura-pura.