Kayak Gimana Sieh Saya Waktu SD? [3-END]


Perjalanan masa kecil saya yang sesungguhnya dimulai dari sini. Saya melanjutkan sekolah dasar saya di SDN 1 Bojong Gede, saat kelas tiga. Sekolah tersebut bersebelahan dengan Pasar Pagi. Tiap pagi, kalau saya masih punya banyak waktu, biasanya saya jalan kaki untuk menghemat uang jajan. Jujur saja, dibandingkan teman-teman yang lain, uang jajan saya per hari termasuk paling sedikit, hanya sebesar Rp 500,-, yang notabene, sama sekali tidak cukup untuk naik angkot pulang ke rumah. Bayangkan saja, untuk sampai ke sekolah, setidaknya saya harus naik angkot 2 kali. Tarif angkot dari rumah ke stasiun sebesar Rp 200,- dan tarif dari stasiun ke sekolah adalah Rp 250,-. Kalau abang supir angkotnya punya kembalian, artinya saya masih megang 50 rupiah, tapi sering kali dia gak punya kembalian, jadi saya cuma gigit jari. Oleh karena itu, saya lebih memilih naik angkot sampai stasiun saja, agar bisa hemat dan tidak kelaparan di sekolah.

Kalau saya jalan kaki, artinya saya memiliki tiga opsi yaitu, becek-becekan di pinggir kali, mengadu nasib di jalan raya, atau mempertaruhkan nyawa di atas rel kereta. Ketiga opsi tersebut sudah saya coba. Semua ada cerita suka dan dukanya masing-masing. Contohnya, setiap kali saya lewat jalan raya, topi saya pasti terbang dan nyemplung di muara selokan. Nah! Kalau sudah begitu, saya harus cari ranting atau ikutan nyemplung buat ngambil topi tersebut sambil berharap ada bapak-bapak yang kasihan ngelihat saya renang di kubangan. Ditambah lagi, anak sekolah yang berdiri dipinggir pintu angkot sering ngeselin karena doyan nendangin pejalan kaki. Habis itu, mereka malah ketawa-ketiwi sambil bersorak ala Werewolf. Makanya, saya lebih memilih ngadu nyawa di atas rel setiap pagi, kemudian sorenya becek-becekan di pinggir kali.

Tiap berangkat sekolah, dandanan saya bisa dibilang lebih rapi dari siswa teladan manapun. Rambut disisir belah tengah atau belah pinggir, kemudian diolesi minyak rambut. Pakai bedak tipis-tipis dan anting. Seragam dikancing sampai pol ke atas. Dasi merah diikat ketat. Rok disetrika selicin mungkin sampai lalat pun kepeleset. Pakai ikat pinggang dan jam tangan. Kaus kaki digulung-gulung. Dan sepatu disemir.

Karena orang tua saya bekerja di Jakarta, jadi mereka lebih dulu berangkat daripada saya. Setiap kali orang tua berangkat kerja, saya senangnya minta ampun karena artinya saya bisa nyanyi-nyanyi tanpa ada yang komentar kalau suara saya bisa bikin mayat bangkit dari kuburan buat ajojing. Kebahagiaan saya tersebut tanpa saya sadari terekspresikan dengan mengantar mereka sampai ke pagar dan bilang “dadaaaah” terus-menerus sambil melambaikan tangan.

Sebelum berangkat sekolah, saya selalu melihat jam untuk memperkirakan akomodasi yang akan saya gunakan. Perjalanan dari rumah ke sekolah memakan waktu 20 menit, jika naik angkot terus. Sedangkan, jika hanya satu kali naik angkot, saya butuh 50 menit. Sisanya, kebayang kan? Berapa lama perjalanan saya kalau full jalan kaki.

Hampir setiap hari, saya berangkat jam setengah 6 pagi. Jalan menyusuri rel kereta sambil nyanyi lagu Doraemon. Untuk sampai di jalur rel tersebut, saya harus melewati tanggul selokan yang tingginya kira-kira 85 cm. Tiap ada kereta lewat, saya langsung buru-buru pindah jalur, atau diam dulu sampai keretanya agak dekat kemudian baru pindah jalur dengan gerakan slow motion. Pernah suatu hari kereta datang dari dua arah. Waktu itu saya sampai bingung mau lewat mana. Mau pindah ke jalur arah Jakarta, keretanya udah dekat, tapi diam di jalur arah Stasiun Bogor tetap saja bakalan kelindes. Saya pun tidak bisa lari ke pinggir, karena tempat tersebut curam, licin, dan tinggi. Akhirnya, saya terperangkap di tengah-tengah, sambil tutup telinga dan memegangi topi biar gak terbang. Namun, biarpun saya ada di posisi yang berbahaya, alhamdulillah gak keserempet atau lecet gara-gara batu loncat. Ternyata, peristiwa tersebut memancing perhatian penduduk. Setelah kereta lewat, beberapa dari mereka berlari-larian ke arah saya, sedangkan sisanya menunggu di tempat sambil ngerumpiin saya. Memang dasar penduduk situ banyak yang ramah-ramah dan perhatian, jadi saya ditegur sejalan-jalan. Setelah mereka puas menegur, saya dibelikan es teh manis.

Saya di sekolah termasuk murid yang aktif. Suka bertanya, pandai bermain, dan rajin ngetawain guru setiap kali ngajar. Habis mereka lucu. Sejak SD kelas satu, saya sebenarnya sudah fasih membaca dan menulis, tapi gak tahu apa sebabnya, di SD saya yang baru ini, nilai Calistung (baca, tulis, dan hitung) saya selalu dapat nilai 50 atau 60. Saya ingat, ketika masih jadi siswa baru, teman-teman sekelas semua masih mengeja: I-ni i-bu Bu-di. Karena aksen mereka lucu, jadi sering saya tirukan, sampai guru saya menegur dan menyuruh saya membaca satu paragraph panjang di buku Bahasa Indonesia. Waktu itu, tulisannya seperti ini:

“Budi anak yang baik dan suka membantu orang tua. Budi rajin menabung. Setiap hari, ia menyisihkan uang jajannya. Setiap minggu, ayah dan ibu Budi selalu mengajak Budi mengunjungi nenek. Budi sangat senang. Rumah nenek sangat luas. Nenek Budi memelihara kucing, marmut, burung, ayam, bebek, dan ikan. Semua hidup akur. Kucing menjaga marmut dan burung. Ayam berkokok setiap hari. Bebek berenang di kolam ikan. Budi anak yang penurut. Tidak pernah membantah perintah orang tua dan tidak suka menyusahkan orang lain. Oleh karena itu, Budi memiliki banyak teman.”

Setelah saya membaca paragraph tersebut, ibu guru malah bilang salah. Akibatnya, saya baca berulang-ulang sampai hafal. Saat saya tanya ke bapak, ternyata cara membaca saya benar dan tidak ada kata yang salah baca. Ibu guru saya benar-benar pintar bikin saya terheran-heran, hampir saja saya putus asa. Walaupun tindakannya tidak bisa benarkan, tapi seandainya ia langsung mengakui bahwa yang saya baca itu sesuai, mungkin saya tidak akan berlatih membaca seharian.

Ada satu kejadian lagi ketika kelas akan bubar, sebelum berdoa biasanya nyanyi bersama dulu. Lagu yang dinyanyikan cuma ada tiga, yaitu Balonku, Aku seorang kapiten, dan Nenek moyangku. Karena saya bosan, sebelum nyanyi saya tanya ke bu guru, “Bu, gak ada lagu lain? Masa nyanyi lagu nenekku terus. Lagian nenek saya bukan pelaut. Nenek saya kan guru, sedangkan kakek saya letnan bintang tiga. Yang pelaut neneknya siapa sieh, bu?” Dan apakah anda tahu apa kata bu guru saya saudara-saudara?

Kata bu guru, “kalau kamu gak mau nyanyi, berdiri sana di luar! Jangan pulang sebelum saya suruh pulang!” Teman-teman saya ngelihatin saya dengan memasang wajah tegang. Saya sendiri kesal dan pengen segera laporan ke orang tua. Lima menit berlalu saya patuh berdiri di luar. Pada menit ketujuh, saya segara ngacir ke belakang sekolah gara-gara ngelihat tukang cilok lewat.

Satu hal terakhir yang saya tidak bisa lupa sampai sekarang. Saat saya kelas lima SD. Ada wali kelas yang cantik dan memiliki wajah khas Indonesia. Dia sering pakai kerudung abu-abu. Tutur katanya lembut dan cara mengajarnya juga menyenangkan. Setiap pertanyaan saya pun selalu disambut dengan wajah tersenyum. Oleh karena itu, lambat laun saya mulai mengurangi porsi bertanya, karena dengan mendengar semua penjelasannya saja, saya sudah merasa paham dan puas. Namun, sayang sekali, ia hanya bisa menemani kami selama satu semester. Agar bu guru jadi tambah senang, di hari terakhir mengajar yang bertepatan dengan ulang tahunnya, saya dan teman sebangku saya memberikan bros kupu-kupu warna pink. Bros tersebut memiliki paduan warna yang soft, sehingga tetap terlihat anggun dan berkelas walau murah.

Itulah sekelumit cerita masa kecil saya saat SD. Tidak bisa saya ceritakan secara rinci, karena sudah waktunya diakhiri. Kalau tetap saya lanjutkan, mungkin bisa bersambung sampai episode 100. Walau sulit mengatakannya, saya tetap harus mengucapkan: lo, gue, and part three, END.

15 tanggapan untuk “Kayak Gimana Sieh Saya Waktu SD? [3-END]

  1. mbak mew ternyata gokil dari kecil ya. 😆 saya juga dulu jajannya gopek. tapi jarak rumah-sekolah deket, tinggal jalan kaki. dulu jajan kesukaan saya nasi goreng bi nining. 100 perak doang. piringnya pake lepekan kecil udah gitu nyuci piring dan sendoknya cuma digoyang2 dikit di aer, trus dipake lagi. nyam…

    Suka

Tinggalkan Balasan ke yisha Batalkan balasan